Tuesday, June 26, 2012

SMS Voting : Is it Justifiable? Part 1...

SMS voting, beberapa tahun terakhir ini, SMS voting sudah menjadi suatu keharusan kontes apapun untuk menentukan sesuatu, bisa untuk menentukan favorit, kategori sampai dengan menentukan pemenang. Sistem ini mungkin praktis secara teknis dan efektif secara marketing, akan tetapi banyak pertanyaan yang berpotensi timbul dari sistem voting seperti ini yaitu antara lain; apakah sistem ini objektif? Apakah hasil nya merupakan yang terbaik? Apakah hasil akhirnya bisa diubah atau dimanipulasi? Apa keuntungannya bagi penyelenggara, kontestan maupun provider? Apakah ini tidak membuat yang memili sumber (uang) yang kuat akan memenangkan sesuatu dengan voting sebanyak-banyaknya? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Saya akan mencoba mendiskusikan dan melihat dari perspektif saya sendiri dan berdasarkan beberapa pengalaman yang pernah saya maupun teman-teman alami dengan SMS voting dalam beberapa tahun terakhir ini. 


SMS voting pada umumnya melibatkan tiga pihak, yg pertama adalah penyelenggara acara, kedua adalah provider telekomunikasi, dan yang ketiga adalah konsumen/voters. Diantara tiga pihak ini akan ada beberapa pihak lagi yang saling terhubung. Secara teknis mungkin tidak perlu dijelaskan disini, sebab anda bisa google tentang SMS voting lebih lanjut.


Paradigma SMS voting di Indonesia terutama di dunia entertainment, IMHO cukup mengkhawatirkan, sebab objektivitas dari polling tersebut sangat diragukan; satu yang pasti konsumen/voter yang akan dirugikan, dengan tarik pulsa SMS premium Rp.2000,- adalah sangat memberatkan, contoh jika ada anak sekolahan yang diminta vote artis idolanya untuk memenangklan sesuatu, secara fans dia akan berusaha untuk voting sebanyak-banyak, 10 SMS saja sudah Rp. 20.000,- yang mungkin nilainya tidak seberapa bagi sebagian orang akan tetapi bisa sangat berharga bagi kebanyakan orang. Itu baru 10 SMS, jika satu orang vote 20 atau 30 dikalikan jumlah yang voting, bisa dibayangkan nilai transaksi yang terkumpul. Apalagi jika event penyelenggara berskala besar, seperti pemilihan idola, pemilihan ratu-ratuan dan sebagainya.


Dengan logika seperti itu maka dapat ditarik kesimpulan awal bahwa siapa yang pendukungnya kuata (dalam hal ini jumlah dan kekuatan dana untuk beli pulsa), akan memenangkannya. Jadi votinglah sebanyak-banyaknya, belilah pulsa sebanyak-banyaknya maka idolamu akan menang. Itulah gimmick yang diiiming-imingi oleh penyelenggara. Tapi apa keuntungan bagi voter/konsumen? Setelah voting ratusan bahkan ribuan kali eh ternyata idolanya tidak menang, sudah pulsa habis; bagi anak sekolah yang uang jajannya pas-pasan akan benar-benar terasa efeknya. Think about it?!


Akan tetapi gimmick itu juga bisa menjadi ilusi, sebab sistem itu dibuat tertutup, tidak ada yang bisa tahu hasil voting yang sebenarnya kecuali dua pihak pertama, penyelenggara dan provider. Ada case, dimana ada yang mendapatkan vote terbanyak jauh dari kompetitornya tapi tetap tidak dimenangkan oleh penyelenggara karena banyak alasan yang mungkin di luar kapasitasku untuk dibahas disini. I know but I won't point fingers...

To be continued...

Monday, June 25, 2012

Social Networking : Necessary Evil Part 1...

Dalam satu dekade terakhir, perkembangan online social networking sudah sangat berkembang pesat di Indonesia. Dimulai dari Yahoo Messenger, MSN Messenger, Friendster dan ICQ. Mungkin untuk dua yang terakhir ini sudah jarang dipakai saat ini, akan tetapi itulah awal boomingnya social networking. Saat ini otomatis Facebook, Twitter dan BBM menjadi tri tunggal power social networking di Indonesia. Di satu sisi, social networking membuat pergaulan dan pertemanan menjadi lebih luas; TAPI ingat 80% adalah di dunia maya/internet, dimana interaksi langsung antara teman itu terjadi secara virtual. Di sinilah titik lemah dari dari online social networking, akan tetapi justru titik lemah inilah yang dieksploitasi oleh banyak pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dengan jumlah penduduk yang sangat banyak di Indonesia, JIKA dengan hanya 3% saja penduduknya memiliki satu saja account Social Networking, maka dengan mudahnya ada sekitar 7 juta account; yang terdiri dari account Facebook, Twitter atau yang lain lainnya. Dan dapat dipastikan jumlah account social media yang aktif di Indonesia kemungkinan besar melampaui jauh angka itu.


Bayangkan jika dengan 7 juta account, itu merupakan target potensial bagi marketer/advertiser sampai ke orang-orang yang berniat tidak baik.  Dari 7 juta account itu sebagian besar saat ini adalah anak-anak di bawah umur 12 yang judgement mentalnya masih sangat-sangat polos. Nah, justru saat ini jika kita lihat atau baca dari berita-berita bahwa sebagian besar korban 'online' kebanyakan adalah mereka-mereka ini yang masih 'terlalu mempercayai' apapun yang mereka baca/lihat di Internet. Beranggapan bahwa apa yang mereka terima itu adalah benar. Seperti ada quotation bahwa mata menerima apa yang otak bisa proses. Jadi jika otak masih belum bisa menyerap dan memilah informasi yang diterima, maka mata akan menerima pesan itu apa adanya dan dibawa ke hati dan otomatis menjadi suatu pedoman alias percaya. 


Banyak sudah contoh-contoh immaturity pemilik account social media dan perilakunya; akan dicoba ditelaah di bawah ini, semua ini berdasarkan observasiku selama ini

Facebook:
1. Menyamar menjadi seseorang untuk mendapatkan pengakuan hidup dari banyak orang, bertindak seolah-olah menjadi orang itu. Jika diobserve dari wall nya akan terlihat tata bahasa yang masih terllau kecil. Bahkan mungkin pemilik account itu adalah anak SD kelas 5 atau 6.
2. Menyebarkan hate di wall-wall pertemananya. Hate crime di negara maju sudah menjadi tindak kriminal yang dapat diproses secara hukum, cuma di Indonesia masih dianggap hal biasa
3. Menyebarkan informasi palsu demi keuntungan pribadi, ini memang biasanya dilakukan oleh orang dewasa sebab mereka menyadari sebagian besar pengguna adalah anak di bawah umur yang bisa dibohongi, contoh; artis minta pulsa dari Facebook, ayo dipikir saja secara bodoh, apakah mungkin?
4. Bangga dengan 5000 friends yang tentunya tidak ada yang dikenal

Dan masih banyak lagi perilaku 'immature' di Facebook. Dalam hal ini context dari immature tidak terbatas kepada anak kecil saja, tetapi juga orang dewasa; justru immaturity orang dewasa inilah yang sangat berbahaya ke pemegang account yang masih anak-anak semua ini.

To Be Continued...

Saturday, June 23, 2012

Indonesia, the Growing Entertainment Market Part 3

Kenapa di dua postingan yang sebelumnya hanya dibahas tentang SMASH dan 7ICONS saja? Ya sebab dua dari group itu sudah mewakili dari masing-masing gender group yang sedang booming di Indonesia. Jika satu per satu group dibahas maka mungkin akan sampai part 15 atau bahkan part 20 sekalian. Intin dari pembahasan ini adalah fenomena yang diatur oleh market, bukan group itu sendiri yang menjadi topik (belum). Suatu saat yang mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi, mungkin akan ada fenomena entertainment baru lagi yang akan dengan sendirinya meredakan demam group/boyband/girlband sekarang ini.

Saat ini perkembangan group-group ini sudah mulai mencapai titik jenuh, dengan munculnya group baru, reaksi dari masyarakat adalah "Oh, lagi-lagi yang ginian" atau "Oh, masih ada lagi yah?" dapat kita amati dengan sendirinya. Bersyukur bagi group-group yang sudah eksis dari awal dan memiliki fanbase yang cukup solid seperti SMASH, 7ICONS, Cherrybelle, Supergirlies, Hitz, S9B dan Max5; itu dikarenakan mereka sudah start dari awal mulai 'demam' ini. Bukannya mendiskreditkan group-group lain yang mungkin jumlahnya sudah puluhan akan tetapi mulai saat ini , masyarakat melalu fanbase yang akan cukup menentukan kelangsungan eksistensi group-group tersebut.

Produser atau management group-group itu sangat sadar dengan hal ini, dimana suatu tujuan utama adalah tujuan ekonomi untuk mencari pemasukan sebesar-besarnya dari 'aset-aset' mereka yang sedang booming. Hukum ekonomi sangat berlaku di dunia entertainment. Jika suatu hari 'aset-aset' mereka sudah mulai berkurang nilainya, saatnya untuk 'likuidasi' maupun 'substitusi', seperti yang terjadi dengan Cherrybelle; jelas menunjukan Cherrybelle itu adalah PRODUK, yang setiap saat dapat disempurnakan baik dengan disempurnakan, diganti atau dikurangi. Maksud dari produk ini seperti yang dijelaskan pada saat press conference SCTV beberapa waktu lalu, bahwa dua personilnya di'ganti' karena faktor usia [Bukan menjadi rahasia lagi bahwa sebenarnya usia bukanlah alasan utama penggantian itu]. Well, usia memang musuh setiap orang, tetapi jika memang Cherrybelle itu solid mau sampai pada umur 30 tahun pun, Cherrybelle is Cherrybelle, KECUALI memang dari tujuan produser/management tetap membidik segmentasi market umur muda seperti sekarang, JADI mereka yang mengadaptasikan PRODUK mereka ke konsumen. Secara ekonomi itu benar, konsumen adalah raja. Itu diserahkan ke managementnya :) They are the one who have the money

To Be Continued...

Friday, June 22, 2012

Indonesia, The Growing Entertainment Market Part 2

Setelah suksesnya SMASH, produser maupun studio yang merasa ini merupakan kesempatan emas untuk menangguk keuntungan besar secara cepat mulai mencari 'follower' dari group ini. Dengan beranggotakan semua laki-laki, SMASH dengan cepat menarik semua fans wanita yang mayoritas berumur dari 4 sampai dengan 21 tahun. Fans di luar demografi umur tersebut memang ada tetapi tidak significant jumlahnya.

Dalam waktu singkat pada bulan Oktober 2010 terbentuklah suatu grup vocal yang lebih dikenal sebagai girlband pertama di Indonesia, yaitu 7ICONS. Seperti di artikel sebelumnya, mereka bukanlah group vocal wanita yang pertama, sebab dahulu ada Elfa's Singer, AB Three dan lain-lainnya yang sudah sukses pada saat anggota 7ICONS masih duduk di bangku Taman Kanak Kanak. Cuma, dikarenakan dengan K-Pop fever yang sedang melanda Asia dan Indonesia pada khususnya, mereka diberikan predikat yang cukup berat yaitu 'Girlband Pertama' di Indonesia. Berat, baik dari tanggung-jawab maupun titel yang disandangnya.

7ICONS pada saat pertama kali tampl langsung secara instan menuai banyak kritikan mulai dari plagiator SNSD, suara berantakan, menari serampangan, sampai dengan wanita-wanita yang tidak sesuai dengan umur dan kostumnya. Pokoknya lengkap semua hujatan dan kritikan yang ditujukan ke 7ICONS. Penampilan demi penampilan mereka lalui, dan dengan menjamurnya group-group lain seperti Cherrybelle, Super Girlies, dan lain-lainnya membuat semakin kritis masukan yang dilemparkan ke mereka.



















Sampai saat blog ini di post, 7ICONS masih bisa tetap eksis di dunia entertainment Indonesia yang sudah sesak dengan SMASH-SMASH maupun 7ICONS-7ICONS. Konsistensi dan kualitas sangat diperlukan disini, memang benar bukan hanya modal tampang cantik dan body tinggi seperti model. Ini adalah dunia persaingan yang keras.

Di dunia entertainment yang perlu sensasi dan sesuatu yang baru, konsistensi dan kualitas kebanyakan ditinggalkan, dengan rata-rata satu bulan muncul satu group laki-laki maupun group perempuan, memberikan suatu ilusi bahwa kita sebagai konsumen masih perlu dengan BB/GB baru. Akan tetapi yang kita tunggu pada umumnya adalah 'Seperti apakah group berikutnya?', 'Cantik/cakep ga ya personilnya?' dan sebagi dan sebagainya. Kita sebagai market lah yang membuat mereka tetap bermunculan setiap bulan; jika memang pada saatnya trend dan fenomena ini berkurang ataupun berakhir maka yang akan tersisa hanyalah "Konsistensi dan Kualitas", saat ini kita sebagai 'penikmat' dunia entertainment Indonesia hanyalah bisa menunggu waktu saja.

To Be Continued...

Indonesia, The Growing Entertainment Market Part 1

Indonesia sebagai negara terbesar ke 4 di dunia dalam jumlah populasinya merupakan market potensial untuk dunia entertainment. Dengan jumlah penduduk sekitar 230 juta jiwa, kebutuhan akan hiburan sudah bukan menjadi kebutuhan sekunder lagi.

Dari sekitar 230 juta jiwa itu segmentasi market yang paling besar adalah segmentasi umur 7 sampai dengan 21 tahun. Itu yang dilihat oleh produser-produser di Indonesia, dengan bermunculannya ‘Girlband dan Boyband’ dikarenakan itulah segmentasi yang efektif pada saat ini. Perlu ditekankan PADA SAAT INI. Sebenarnya mereka bukanlah Girlband maupun Boyband, definisinya sudah tidak jelas di dunia entertainment Indonesia ini. Jika mengikuti definisi Boy/Girl Band itu terdiri dari beberapa personil yang masing-masing menguasai alat-alat musik tersendiri. Ya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.

Intinya, BB/GB ini sekarang merupakan ladang uang bagi para produser/label yang membawahi semua BB/GB saat ini. Ini merupakan euphoria sesaat dengan target market anak umur 7 tahun sampai dengan remaja, ketika segmentasi ini bergeser maka era BB/GB akan berlalu. Yang bisa bertahan hanyalah segelinitir, yang hanya mengandalkan penampilan fisik akan tenggelam dengan sendirinya, yang mengandalkan kekuatan manajemen semata juga akan tenggelam dengan sendirinya.

Dengan banyaknya jumlah ‘BB & GB’ sekarang ini, sudah memenuhi ‘demand’ dari dunia hiburan kita, apabila dalam istilah ekonomi itu ‘over supplied’ dimana jumlah ‘supply’ sudah melebihi ‘demand’ yang ada, singkatnya sudah terlalu banyak BB & GB itu. Jadinya produser-produser sudah latah dengan menciptakan clone-clone BB & GB.

Di Indonesia SMASH dianggap sebagai group vokal ala boyband pertama di Indonesia, sebenarnya banyak sebelum SMASH sudah eksis di Indonesia, seperti Kahitna dan sebagainya. Cuma pada saat itu pengaruh boyband/girlband dari Korea belum menjamur jadi ya dianggap hanya group biasa saja. Pada saat SMASH diluncurkan banyak tanggapan positif maupun negatif dari konsumen hiburan Indonesia; sentimen negatif itu wajar, tapi market yang mebuktikan bahwa formula itu sukses, terbukti dengan kesuskesan SMASH yang mungkin melebihi group-group sebelumnya yang pernah eksis di Indonesia.



Nah formula itu yang di copy dengan produser-produser lain dengan munculnya ‘boyband-boyband’ lain seperti, MAX5, HITZ, Dragonboyz, S9B dan lain-lainnya. SMASH dianggap pelopor juga tidak seratus persen benar, tetapi sebagai suatu fenomena yang memulai suatu trend di Indonesia itu benar. Sentimen negatif kepada SMASH itu wajar; seperti dicap meniru-niru K-Pop dan sebagainya, akan tetapi market yang menentukan semuanya.

To Be Continued…